Bulan Nosarios mungkin
bisa dianggap sebagai penulis pendatang baru, bisa juga tidak—terlalu
baru—jika
mengingat dia sudah menulis dua buah novel. Dan novel yang berjudul Damar Hill ini adalah buku keduanya. Sebagai
informasi (tak penting), saya belum membaca novel debutnya.
Saya selalu iri dengan orang-orang
yang melakukan perjalanan, karena saya sadar diri saya tak mampu—secara
finansial, tenaga, dan keberanian—melakukannya. Lebih iri lagi
jika perjalanan tersebut tak biasa—berhari-hari bahkan
berminggu-minggu, ke tempat-tempat tak biasa, tersesat, bahkan tak jarang
terisolasi. Kalau sekadar liburan atau curi-curi waktu di sela-sela perjalanan
dinas atau tugas, mungkin semua orang bisa melakukannya, termasuk saya.
Jika diminta
menyebutkan satu saja judul buku terburuk dari buku-buku yang saya baca
sepanjang tahun 2015-2017 lalu, maka itu adalah novel Insya Allah, Sah. Mirisnya lagi, novel ini saya baca nyaris selama
rentang waktu tersebut—seharusnya mungkin bisa satu atau dua hari
saja, bahkan mungkin bisa lebih singkat lagi bagi sebagian orang. Alasannya
sederhana: saya bosan! Baca sedikit, lalu bosan, kemudian saya beralih ke buku
lain. Lama sekali, barulah saya melirik ke novel ini lagi. Begitu seterusnya
hingga novel ini akhirnya selesai saya baca—dengan terpaksa. Seharusnya saya
tidak perlu repot-repot membacanya sampai selesai. Bahkan sejak di halaman
pertama, saya sudah bisa memutuskan bahwa novel ini jelek. Lalu kenapa saya
terpaksa melakukannya? Tak lain dan bukan karena novel ini adalah
pemberian gratis dari penulisnya—dibagikan secara sukarela di akun facebook
penulisnya dengan permintaan supaya mereka yang mendapatkan buku ini akan
menuliskan ulasannya.
Ini
tentunya saya jadikan pelajaran penting bahwa di masa akan datang saya tidak
akan menjadi ‘penampung’ buku karena orderan ulasan. Saya akan membeli sebuah buku
karena saya ingin membelinya. Jadi ketika bukunya tidak memenuhi ekspektasi
saya, saya tidak perlu merasa bersalah tidak membacanya sebagaimana ketika
membaca novel Insya Allah, Sah! ini.
Harus saya akui sejak
beberapa tahun terakhir ini, saya mulai jenuh dengan fiksi islami. Ceritanya
melulu berisi ceramah, padahal panggung ceramah dan fiksi adalah dunia yang
sama sekali berbeda meski mungkin dengan tujuan yang sama. Saya merindukan—lebih
tepatnya menantikan—fiksi islami yang berbeda, yang tidak hanya menjadi
pengekor karena menulis dengan pola yang sama sebagaimana penulis fiksi
islami lainnya.
Ada sedikit
penulis fiksi islami yang karyanya masih mau saya baca sampai sekarang,
Habiburrahman El Shirazy salah satunya. Tapi tidak semua karya Kang Abik mau
saya baca. Saya hanya menggemari satu bukunya saja, yaitu Ayat-Ayat Cinta. Tentang ini akan saya bahas di tulisan
berikutnya saja.
Kembali
ke novel Insya Allah, Sah!.
Karena
novel ini sudah diangkat ke layar lebar, saya rasa banyak yang sudah tahu jalan
ceritanya seperti apa, jadi saya tidak akan menuliskannya lagi secara detail.
Saya sendiri belum menonton filmnya, dan, maaf, tidak berminat menontonnya.
Meski demikian, saya cukup surprise
karena, jika dilihat trailer-nya,
ternyata filmnya dibuat sedikit berbeda dengan novelnya. Jalan ceritanya sama
tetapi dengan genre komedi. Tidak bisa saya bayangkan jika mentah-mentah
diadaptasi dari bukunya.
Jadi
jangan salahkan saya jika sepanjang membaca novel ini saya memaki-maki ‘duh,
kenapa ceritanya se-absurd ini’
atau ‘cerita apa ini?’
Sungguh
seperti sebuah siksaan yang tiada akhir.
Bayangkanlah
saat kamu sedang terjebak dalam lift dengan seorang pria alim tak dikenal,
kemudian kamu dijejali pertanyaan-pertanyaan semacam ‘Agamamu apa?’, ‘Kenapa
nggak berjilbab?’, dan banyak pertanyaan dan pernyataan menyebalkan lainnya.
Jika saya adalah Silvi, tokoh utama perempuan dalam novel ini, saya pasti sudah
menggampar orang baru tersebut. Lol.
Karena
ini novel romance dengan tema religi,
cerita selanjutnya sudah bisa ditebak: akhirnya si tokoh utama pakai jilbab dan
menikah dengan lelaki menyebalkan di atas. Padahal Silvi sudah punya kekasih,
tetapi karena pengarangnya ingin tokoh Silvi ini berjalan sesuai keinginannya, maka dibuatlah ending yang maksa seperti itu.
Sudah
cukup saya membaca satu novel seperti ini.
Maaf,
rating 1 dari saya.
Dongeng
atau cerita merupakan media yang cocok untuk menyampaikan sebuah gagasan atau
pengetahuan baru kepada anak tanpa harus menggurui si anak, termasuk tentang
bagaimana memperkenalkan anggota tubuh sendiri dan apa fungsi dari anggota
tubuh tersebut. Memperkenalkan bagian-bagian anggota tubuh kepada anak tentunya
harus disesuaikan dengan usia anak. Alih-alih menyenangkan, sering anak merasa
bosan jika penyampaiannya kaku seperti kuliah di kelas anatomi. Anak-anak
sedang tidak belajar di kelas anatomi.
Sekarang,
orangtua tidak perlu bingung lagi jika ingin memperkenalkan fungsi anggota
tubuh kepada anak. Buku berjudul Dongeng
Anotami ini adalah pilihan yang tepat untuk memulai. Ada 11 cerita dalam
buku ini, satu cerita untuk satu anggota tubuh beserta fungsinya.
Dalam
cerita berjudul ‘Ketika Rambut Minta Mandi’, ada Rendi dan Kiko, kakak beradik
yang memiliki kebiasaan berbeda saat mandi. Kiko saat mandi sangat rajin
keramas, sementara Rendi sebaliknya. Bahkan meski rambutnya lepek, Rendi tetap
tidak mau keramas. Hal ini membuat rambut Rendi mengeluh kesal karena mereka menjadi
bau sekali. Suatu hari, ada guru baru di sekolah Rendi. Guru tersebut berambut
botak walaupun sang guru masih muda. Dari internet, Rendi jadi tahu bahwa salah
satu penyebab botak adalah malas keramas. Sejak itu dia rajin keramas (halaman
17).
Cerita
selanjutnya adalah ‘Gigi pun Bisa Sensitif’, bercerita tentang Ira yang suka
memakan apa saja, tak peduli meskipun giginya ngilu karena gigi sensitif.
Ternyata Ira malas menyikat gigi. Ketika akhirnya Ira sakit gigi, ia pun harus
merelakan gigi gerahamnya yang sudah berlubang parah untuk dicabut. Teman-teman
gigi geraham merasa sedih ketika mereka harus kehilangan gigi geraham. Dokter
gigi menyarankan agar Ira lebih sering menyikat gigi dan harus rajin makan buah
dan sayur.
Lain
Ira, lain pula Sasha. Dalam cerita ‘Rapat Organ Pencernaan’, diceritakan Sasha yang
suka lupa makan jika sedang asyik dengan sesuatu. Organ pencernaan Sasha sering
merasa perih karena Sasha sering mengabaikan jam makan. Ketika lambung kosong,
getah lambung terpaksa mengikis dinding lambung dan ini membuat lambung bersedih.
Suatu hari, lambung kesal sekali. Sasha sedang asyik bermain game dan dia makan pada waktu yang sudah
telat. Karena ingin segera menyelesaikan game,
Sasha makan dengan terburu-buru. Ini membuat lambung harus bekerja ekstra
karena harus mencerna makanan yang masih kasar. Sebenarnya, organ-organ
pencernaan saling bekerjasama dengan rukun. Namun, semua itu tidak akan terjadi
jika pemilik mereka tidak memberi mereka makanan yang dibutuhkan (halaman 38).
Kedelapan
cerita anatomi lainnya juga tidak kalah menarik. Ada kuku yang makin panjang
makin bangga, padahal menurut teman-teman kukunya yang lain, di dalam kuku
panjang terdapat banyak kuman. Kemudian ada telinga yang selalu mengeluh karena
pemiliknya yang bernama Aurel senang sekali mengorek kuping. Aurel tidak tahu
bahwa telinga bisa membersihkan diri sendiri dengan bantuan getah telinga dan
rambut pada telinga.
Perbedaan
dan fungsi warna kulit manusia berdasarkan ras juga ditulis dengan cerita yang
menarik, yaitu saat kulit putih milik Peter berdebat dengan kulit sawong matang
milik Toni. Cerita ini mengajarkan bahwa apapun jenis kulit kita, kita harus
senantiasa bersyukur dan menghargai perbedaan.
Cerita
anggota tubuh lainnya antara lain: tentang mata yang haus cahaya; tulang yang
membutuhkan asupan Kalsium yang cukup sejak dini, otot-otot kekar yang bangga
karena mendapat suplai makanan yang cukup, kandung kemih yang selalu menahan
marah karena Alif pemiliknya sering menahan kencing, dan cerita pasukan usus
yang malas bekerja karena kekurangan asupan sayuran atau serat. “Kenapa Farel
malas sekali makan sayur dan buah? Padahal di dalam buah dan sayur banyak terdapat
serat. Serat akan meringankan pekerjaanku.” Usus besar mengeluhkan kebiasaan
buruk Farel, pemiliknya, yang malas makan sayur (halaman 126).
Buku
anak setebal 136 halaman ini dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi menarik di
setiap cerita, sehingga tidak akan membuat anak-anak bosan saat membacanya. Cerita-cerita
dalam buku ini mengandung pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia, juga
tip-tip menjaga kesehatan tubuh.
Setiap kali membaca buku baru, saya selalu menuliskan minimal dua versi review buku tersebut. Yang pertama adalah tulisan review suka-suka saya dan kedua adalah tulisan review ala media.
Novel Sebiru Safir Madagascar misalnya. Saya sudah menuliskan review suka-suka saya untuk novel tersebut, lalu menuliskan lagi tulisan review versi media. Jadi, untuk satu buku saya bisa punya lebih dari satu tulisan.
Lebih menyenangkan yang mana? Lebih menyenangkan menulis suka-suka laaaah, hahaha. Berikut ini adalah review Sebiru Safir Madagaskar versi media. Saya kirim ke surat kabar Tribun Kaltim (Kalimantan Timur), sebuah surat kabar yang sekelas dengan Serambi Indonesia kalau di Aceh.
Selamat membaca.
Saya selalu suka menyukai berpetualang––melalui buku––di negara-negara
ketiga––negara-negara yang jika disebut namanya, mungkin sebagian orang, sambil mengernyit,
akan bertanya: di manakah itu?; atau
yang lebih ekstrim jadi, itu negara?
Seperti saya, haha.