Sebiru Safir Madagaskar
Wednesday, August 24, 2016
Saya selalu suka menyukai berpetualang––melalui buku––di negara-negara
ketiga––negara-negara yang jika disebut namanya, mungkin sebagian orang, sambil mengernyit,
akan bertanya: di manakah itu?; atau
yang lebih ekstrim jadi, itu negara?
Setelah saya terlihat bodoh karena ternyata baru mengetahui ada sebuah negara bernama Madagaskar––dari yang semula kukira ‘Madagaskar’ adalah judul sebuah film Amerika, selanjutnya saya kira saya patut berterima kasih kepada penulis ini karena akhirnya dia menulis novel dengan latar negara tersebut––negara yang menjadi tempat persinggahannya selama kurun waktu tertentu.
Menulis dengan latar yang akrab dengan kehidupan sehari-hari
karena penulisnya adalah bagian dari latar belakang tersebut nyaris selalu
menjadi pilihan utama––sekaligus menjadi pilihan aman––untuk sebuah karya
debut. Kenapa? Karena lebih mudah menuliskan sesuatu dengan kita terlibat di
dalamnya. Proses selanjutnya yang mungkin akan melibatkan banyak hal di luar
itu; drama-drama kehidupan, riset, rombak, sunting, dan sebagainya. Kalau orang
Aceh bilang, yang penting olah.
Memadukan dua unsur: latar yang tidak biasa dan drama kehidupan
orang-orang terabaikan di negara ketiga; menjadikan buku ini memikat dari awal
hingga ending.
Bercerita tentang Mirindra, gadis kecil dari pedalaman Sahasoa,
yang memiiki mimpi sederhana––sesederhana kehidupan mereka––agar bisa mengecap
bagaimana nikmatnya sekolah. Bagi sebagian besar orang di nusantara, bisa ke
sekolah mungkin bukanlah sebuah mimpi––itu hanya sebuah rutinitas. Tetapi bagi
Mirindra (yang kemudian oleh penulis disebut Rindra saja, tetapi saya lebih
menyukai menulis Mirindra) bisa bersekolah adalah mimpi. Kemiskinan telah
menyergap kehidupan orang-orang di Madagaskar sehingga kehidupan bagi mereka
adalah semuanya tentang bagaimana bisa bertahan hidup, dan tak menyisakan
sedikitpun ruang yang namanya ‘sekolah’ di dalamnya. Mungkin, begitu juga yang
akan terjadi pada si gadis kecil Mirindra, jika ayahnya tidak dengan terpaksa
menitipkannya di sebuah sekolah untuk anak-anak miskin, yang dikelola oleh
seorang perempuan, bernama Tinah, warga Madagaskar yang memiliki kepedulian
yang besar terhadap anak-anak miskin di sekitarnya. Meski ada yang peduli,
meski tidak harus memikirkan uang sekolah, kehidupan orang-orang miskin tetap
tidaklah mudah; ayah Mirindra adalah seorang buruh kasar di pertambangan batu
mulia––menggali tanah hingga ke bagian lapisan yang mengandung permata;
sengketa kepemilikan tanah tempat berdirinya bangunan untuk tempat tinggal
sekaligus tempat sekolah anak-anak miskin; dan ancaman badai cyclone yang mematikan––datang setiap
tahun.
Apakah sekolah tersebut benar-benar ada? Apakah Mirindra dengan
segala persoalannya itu nyata adanya? Adakah di antara pembaca yang mungkin
akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu usai membaca sebuah buku
yang dirasakan menggugah atau menginsipirasi? Sebagaimana jelas tertulis di
sampulnya, novel Sebiru Safir Madagaskar
adalah ‘Novel Inspiratif’––hasil dari sebuah kompetisi menulis novel. Dan kiranya––usai membaca seluruh kisah
Mirindra––saya setuju dengan pelabelan demikian. Jika saya mendengar cerita
orang-orang sukses dan inspiratif, saya tidak melewatkan untuk mencari tahu
bagian dari riwayat hidupnya. Jika dia adalah anak-orang-dengan-harta-yang-tidak-akan-habis-sampai-tujuh-turunan;
mampu sekolah ke luar negeri dengan biaya sendiri, lalu pulang ke negeri
sendiri dan merintis sesuatu yang besar; buat saya ini tidak terlalu inspiratif
dibanding seseorang atau siapa saja yang berasal dari kondisi awal yang
memprihatinkan dan merintis sesuatu yang sama.
Lebih jauh, meski ini novel inspiratif, saya tidak akan
melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas. Bukan karena saya tahu
penulisnya dengan baik, bukan itu. Soal bahwa penulisnya terinspirasi akan
kisah-kisah nyata lalu kemudian membuatnya menjadi tulisan yang tak kalah
menginspirasi, tak menjadi tanya-tanya buat saya. Yang penting, selama ini
fiksi, dan tak sedikitpun penulisnya menuliskan ‘kisah nyata’ di halaman depan––karena
itu memang tidak perlu buat saya––saya tetap menikmatinya sebagai sebuah karya fiksi
yang utuh, tanpa perlu berurusan lebih banyak dengan latar belakang penulisnya,
kecuali kenyataan bahwa penulisnya pernah tinggal di Madagaskar. Hanya itu.
Sebagai buku debut, saya cukup menikmati membaca buku ini. Salah
satu tandanya adalah saya tidak ingin berhenti membacanya hingga selesai. Namun
demikian, ini bukan sebuah hasil karya yang terlalu sempurna. Saya menemukan
banyak sekali point of view errors––istilah
yang saya ciptakan sendiri (haha) karena saya tidak bisa menemukan istilah
lain, dan semoga saya tidak salah mengatakan ‘saya ciptakan sendiri’ karena
mungkin istilah tersebut memang ada misalnya. Jika dibahasaindonesiakan, artinya
lebih kurang adalah ‘kebingungan sudut pandang’. Nah lho, istilah apa pula itu?
Sebentar, sebelum membahas lebih jauh tentang ‘kebingungan sudut
pandang’ ini, perlu saya beritahu bahwa novel ini ditulis dengan sudut pandang
orang pertama––dalam hal ini Mirindra si tokoh utama bertindak sebagai ‘aku’. Saya
sering katakan di kelas-kelas belajar menulis fiksi bahwa memakai sudut pandang
orang pertama adalah pilihan paling mudah––sekaligus menjadi pilihan aman––bagi
penulis (fiksi) pemula. Pemula ya, yaitu: orang-orang yang baru belajar apa itu
tokoh-alur-konflik-ending-dst; orang-orang yang masih tertatih-tatih agar bisa
menulis dengan baik dan lalu termehek-mehek dengan penolakan dari sejumlah
media seperti saya. Merujuk pada kenyataan tersebut, dalam hal ini, jelas Haya
Nufus bukan lagi seorang pemula (saya tidak harus menuliskan tentang ini).
Tetapi, siapapun––baik amatiran maupun profesional––boleh menulis dengan sudut
pandang apapun, sesuka hati.
Jadi, maksud saya, sudut pandang orang pertama adalah pilihan
mudah dan aman bagi siapapun. Bagi amatiran saja mudah––meskipun kenyataannya
tidak selalu begitu––apalagi bagi mereka yang sudah professional. Yang tidak boleh dilupakan
adalah bahwa setiap sudut pandang memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Baik, mari kita fokus ke sudut pandang orang pertama. Salah satu
kelebihan sudut pandang ini––yang menjadi indikasi disebut mudah dan aman––adalah
karena si ‘aku’ bisa mengeksplor banyak tentang apa-apa dirasakannya (terkait masa lalu, masa
sekarang, atau harapan di masa depan) dan apa-apa yang bisa tertangkap oleh
panca indranya. Dengan menjadi ‘aku’, penulis––melalui ‘aku’––bisa
bertransformasi menjadi siapa saja berdasarkan karakter cerita yang dibangunnya.
Kebalikannya, si ‘aku’ tidak akan tahu apa-apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh
lain selain dirinya––apalagi terkait sesuatu yang datangnya dari dalam hati,
tidak akan tahu banyak apa-apa yang terjadi terhadap tokoh lain saat itu juga,
kecuali dia mendapat cerita/kabar sesudahnya. Kebalikan inilah yang kemudian menjadi
kekurangan dari sudut pandang permata.
Intinya, sudut pandang orang pertama memiliki keterbatasan untuk tahu
lebih banyak. Alih-alih menggambarkan tentang ‘seorang yang lain’ selain si
‘aku’, penulis bisa terjebak untuk beralih sudut pandang secara tiba-tiba.
Inilah yang di awal tadi saya sebut sebagai ‘kebingungan sudut pandang’. Saya sudah banyak membaca buku dengan di
dalamnya terdapat banyak sudut pandang––tidak hanya orang pertama dan orang
ketiga, yang berarti terjadi peralihan berulang sudut pandang. Tetapi
penulis-penulis itu berhasil mengatasi semuanya dengan baik tanpa harus membuat
pembaca kebingungan. Pembaca tetap tahu siapa yang sedang bernarasi di satu
adegan dan siapa di adegan lainnya, begitu seterusnya.
Sayangnya penulis buku ini sedikit teledor dalam hal ini. Dari
awal hingga halaman terakhir, jelas bahwa
sudut pandang orang pertama lah yang digunakan. Tetapi di beberapa
adegan, terlihat sang ‘aku’ terlibat banyak di luar batas sudut pandang
dirinya. Saya mencatat beberapa di antaranya:
- Halaman 36: ….namun dia khawatir akan mengosongkan jerigen
yang tadi telah susah payah diangkut
oleh cucu-cucunya.
Dadabe berharap Tinah membutuhkan seorang
gardien agar rumahnya lebih aman.
Ketika Irene masuk ke dalam sebuah bangunan, Dadabe ragu untuk ikut masuk…
Lihat ke bagian-bagian yang saya bold, kemudian muncul
pertanyaan-pertanyaan: dari mana dia
tahu Dadabe khawatir? Tidak ada
kalimat langsung yang keluar dari mulut Dadabe
yang menyatakan bahwa dia khawatir. Lalu bagaimana dia tahu bahwa Dadabe telah
menyusahkan cucu-cucunya? Juga, tidak ada kalimat langsung yang keluar dari
mulut Dadabe yang mengatakan bahwa
cucu-cucunya telah susah payah mengangkut jerigen. Dari mana ‘aku’ tahu bahwa Dadabe berharap Tinah membutuhkan gardien? Dari mana ‘aku’ tahu bahwa
bahwa Dadabe ragu untuk ikut masuk?
Bukankah itu semua––khawatir,
berharap, ragu––adalah perasaan-perasaan yang dirasakan tokoh di luar diri
‘aku’? Dalam hal ini sang ‘aku’ telah memasuki batas terlarang yang bukan
merupakan bagian sudut pandang dirinya.
- Halaman 53: Dalam hitungan
menit itulah Lanto seperti berpikir
cepat.
Pikirannya terpusat untuk segera membawa Thiery ke
dokter terdekat.
Bagaimana ‘aku’ tahu bahwa Lanto sedang berpikir cepat, yang
meskipun dalam kalimatnya terdapat kata ‘seperti’, tetap saja, ‘it doesn’t make sense’ kalau orang
Amerika bilang. Lanto seperti berpikir cepat à sumpah, si ‘aku’ ini sok tahu
sekali, deh. Sudahlah dia mengatakan si Lanto seperti berpikir, dia tambah pula
dengan ‘cepat’. Sungguh, dia telah memasuki kawasan terlarang dengan terlalu
jauh masuk ke dalam. Tidak ada orang yang bisa tahu orang lain sedang berpikir,
apalagi dengan ‘cepat’ pula. Bagaimana sih ‘aku’ bisa tahu kecepatan berpikir
seseorang? Jika kalimatnya diganti menjadi ‘terlihat seperti berpikir’, misalnya,
mungkin ini bisa dimaafkan karena dalam hal ini ‘aku’ tidak masuk ke kawasan
sudut pandang orang lain. Tapi, cukup dengan ‘terlihat seperti berpikir’ saja
tanpa ditambah dengan ‘cepat’. Lalu di
kalimat selanjutnya, bagaimana ‘aku’ tahu bahwa pikiran Tinah sedang terpusat
kepada Thiery. Memang, kita tahu, dalam kondisi seseorang sedang darurat dan
perlu bantuan segera, siapapun akan memusatkan pikiran ke seseorang tersebut.
Tapi tetap saja, si ‘aku’ tidak boleh masuk ke pikiran orang lain. Jika
kalimatnya diganti menjadi ‘terlihat cemas’, misalnya, atau dinarasikan dengan
bahasa tubuh Tinah (memejamkan mata, menggigit bibir, kening berkerut, memeluk
erat dan sebagainya––dalam hal ini penulis lebih tahu lah ya) mungkin
kebingungan ini masih bisa diselamatkan.
- Paragraf terakhir di halaman 165 yang bersambung ke halaman
berikutnya (terlalu panjang untuk saya tulis di sini). Di sini terlihat bahwa
‘aku’ terlalu jauh masuk ke dalam pribadi tokoh yang bernama Jose. ‘Aku’ mengetahui apa yang Jose ketahui yang
mana seharusnya dia tidak boleh begitu. Itu bukan bagiannya.
Demikian sedikit contoh dari pembahasan yang panjang lebar di
atas.
Pertanyaannya, apakah sedemikian terlarangnya bagi tokoh ‘aku’––siapapun
dia dan apapun perannya––untuk masuk ke bagian yang bukan menjadi bagiannya?
Sebenarnya tidak juga, itu bisa disiasati dengan sedikit trik. Saya memiliki
sedikit sekali referensi, tetapi saya ingin menunjukkan satu contoh buku––yang
saya baca beberapa bulan lalu––yang memakai trik untuk mengakali ketidaktahuan
banyak si tokoh ‘aku’ untuk bagian yang bukan bagian sudut pandangnya. Buku
tersebut berjudul Pulang, karya Tere Liye. (baca juga: Pulang; Perjalanan Menemukan Kembali Hakikat Hidup). Secara
keseluruhan, Pulang memakai sudut
pandang orang pertama. Tetapi di banyak bagian, si tokoh ‘aku’ bisa masuk ke
bagian orang-orang di luar dirinya. Ini bisa terjadi karena penulisnya menyusun
alur maju mundur dengan sedikit rumit tapi tetap terjaga dengan baik dari awal
hingga akhir. Dengan si ‘aku’ bercerita di awal (bukan prolog), kemudian flash back ke masa-masa yang telah
lewat, perpindahan sudut pandangnya bisa berjalan dengan baik tanpa harus
mengalami ‘kebingungan sudut pandang’. Tokoh ‘aku’ dalam Pulang bisa mengetahui banyak tentang orang-orang di luar dirinya,
selama itu adalah flash back. Tapi
tidak demikian dengan tokoh ‘aku’ dalam Sebiru
Safir Madagaskar yang memakai alur maju, dia tampak ingin tahu banyak (ya
ya, kita akui dia luar biasa pintar), padahal manusia kan tidak harus tahu
banyak.*
1 comments
Makasihkak Eqi sudah baca, makasih juga saran perbaikannya... :-) Bikin semangat kami bangkit nih ^^
ReplyDelete