Insya Allah, Sah!

Friday, January 12, 2018




Jika diminta menyebutkan satu saja judul buku terburuk dari buku-buku yang saya baca sepanjang tahun 2015-2017 lalu, maka itu adalah novel Insya Allah, Sah. Mirisnya lagi, novel ini saya baca nyaris selama rentang waktu tersebut—seharusnya mungkin bisa satu atau dua hari saja, bahkan mungkin bisa lebih singkat lagi bagi sebagian orang. Alasannya sederhana: saya bosan! Baca sedikit, lalu bosan, kemudian saya beralih ke buku lain. Lama sekali, barulah saya melirik ke novel ini lagi. Begitu seterusnya hingga novel ini akhirnya selesai saya baca—dengan terpaksa. Seharusnya saya tidak perlu repot-repot membacanya sampai selesai. Bahkan sejak di halaman pertama, saya sudah bisa memutuskan bahwa novel ini jelek. Lalu kenapa saya terpaksa melakukannya? Tak lain dan bukan karena novel ini adalah pemberian gratis dari penulisnya—dibagikan secara sukarela di akun facebook penulisnya dengan permintaan supaya mereka yang mendapatkan buku ini akan menuliskan ulasannya. 

Ini tentunya saya jadikan pelajaran penting bahwa di masa akan datang saya tidak akan menjadi ‘penampung’ buku karena orderan ulasan. Saya akan membeli sebuah buku karena saya ingin membelinya. Jadi ketika bukunya tidak memenuhi ekspektasi saya, saya tidak perlu merasa bersalah tidak membacanya sebagaimana ketika membaca novel Insya Allah, Sah! ini. 

Harus saya akui sejak beberapa tahun terakhir ini, saya mulai jenuh dengan fiksi islami. Ceritanya melulu berisi ceramah, padahal panggung ceramah dan fiksi adalah dunia yang sama sekali berbeda meski mungkin dengan tujuan yang sama. Saya merindukanlebih tepatnya menantikanfiksi islami yang berbeda, yang tidak hanya menjadi pengekor karena menulis dengan pola yang sama sebagaimana penulis fiksi islami  lainnya. 

Ada sedikit penulis fiksi islami yang karyanya masih mau saya baca sampai sekarang, Habiburrahman El Shirazy salah satunya. Tapi tidak semua karya Kang Abik mau saya baca. Saya hanya menggemari satu bukunya saja, yaitu Ayat-Ayat Cinta.  Tentang ini akan saya bahas di tulisan berikutnya saja. 

Kembali ke novel Insya Allah, Sah!.
Karena novel ini sudah diangkat ke layar lebar, saya rasa banyak yang sudah tahu jalan ceritanya seperti apa, jadi saya tidak akan menuliskannya lagi secara detail. Saya sendiri belum menonton filmnya, dan, maaf, tidak berminat menontonnya. Meski demikian, saya cukup surprise karena, jika dilihat trailer-nya, ternyata filmnya dibuat sedikit berbeda dengan novelnya. Jalan ceritanya sama tetapi dengan genre komedi. Tidak bisa saya bayangkan jika mentah-mentah diadaptasi dari bukunya.  

Jadi jangan salahkan saya jika sepanjang membaca novel ini saya memaki-maki ‘duh, kenapa ceritanya se-absurd ini’ atau  ‘cerita apa ini?’
Sungguh seperti sebuah siksaan yang tiada akhir.

Bayangkanlah saat kamu sedang terjebak dalam lift dengan seorang pria alim tak dikenal, kemudian kamu dijejali pertanyaan-pertanyaan semacam ‘Agamamu apa?’, ‘Kenapa nggak berjilbab?’, dan banyak pertanyaan dan pernyataan menyebalkan lainnya. Jika saya adalah Silvi, tokoh utama perempuan dalam novel ini, saya pasti sudah menggampar orang baru tersebut. Lol.

Karena ini novel romance dengan tema religi, cerita selanjutnya sudah bisa ditebak: akhirnya si tokoh utama pakai jilbab dan menikah dengan lelaki menyebalkan di atas. Padahal Silvi sudah punya kekasih, tetapi karena pengarangnya ingin tokoh Silvi ini berjalan sesuai  keinginannya, maka dibuatlah ending yang maksa seperti itu.
Sudah cukup saya membaca satu novel seperti ini. 

Maaf, rating 1 dari saya.

You Might Also Like

2 comments

  1. Ternyata ending novel dan filmnya beda

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sudah mereview atau menjelekkan novel saya ya hehehe. Itu hak anda. Ini juga pelajaran buat saya agar saya tidak sembarangan memberikan hadiah buku. Maaf saya pikir bisa dapat review bagus dari blog ini supaya bisa jadi bahan instrospeksi saya agar bisa menulis lebih bagus. Rupanya isi review-nya juga absurd. Thx for reading my book.

    ReplyDelete

Like us on Facebook