Damar Hill, Tentang Kisah Cinta yang Manis dari Takengon
Friday, February 16, 2018
Bulan Nosarios mungkin
bisa dianggap sebagai penulis pendatang baru, bisa juga tidak—terlalu
baru—jika
mengingat dia sudah menulis dua buah novel. Dan novel yang berjudul Damar Hill ini adalah buku keduanya. Sebagai
informasi (tak penting), saya belum membaca novel debutnya.
Apa yang membuat saya memutuskan membaca novel ini adalah karena ceritanya mengambil setting di Takengon, Aceh Tengah, dan sampai tulisan ini saya buat, saya belum pernah ke Takengon. Jadi marilah kita jalan-jalan lewat buku terlebih dahulu sebelum suatu hari saya bisa ke sana. Tapi terus terang saya tidak berharap banyak akan ‘melihat’ Takengon lebih banyak karena, well… ini adalah novel dengan label Amore, bukan sejenis novel roman dengan label satunya lagi di penerbit yang sama: fiksi rasa jalan-jalan atau jalan-jalan rasa fiksi.
Sebagaimana
pola novel dengan label Amore pada umumnya, sebagaimana juga pola novel genre
roman lainnya, cerita tentu berkutat pada dua tokoh utama: seorang perempuan
dan laki-laki dewasa dengan kisah cinta mereka yang berliku-liku dan kadang
penuh drama. Tetapi Damar Hill tidak
sepenuhnya demikian. Dengan berpusat pada dua tokoh utama Nadya Sera dan Daryl
Sukmawan, cinta di antara mereka justru berkembang dengan pelan-pelan saja dan
nyaris tanpa drama yang meledak-ledak.
Diceritakan
ketika Nadya kehilangan pekerjaannya sebagai pustakawan, di saat yang sama dia
juga mendapatkan kabar tidak menyenangkan dari kampung halamannya di Takengon,
maka Nadya memutuskan untuk pulang dan mengurus Damar Hill, penginapan tua milik
keluarganya. Di sisi lain, ada Daryl, yang menjadi salah satu tamu setia dan
paling lama dan paling sering menginap di Damar Hil. Jangan mengira Daryl adalah
seorang pria yang kurang kerjaan.
Jauh-jauh dari Jakarta terbang ke Takengon, Daryl bukan sekadar berleha-leha
tanpa tujuan. Selain ingin mengobati luka hatinya di masa lalu, penjajakan kopi
Takengon menjadi agenda penting lainnya sang mantan pemilik gerai kopi ternama
di Jakarta tersebut. Dengan menginap dalam waktu lama di Damar Hill; dengan
Nadya sang nahkoda baru penginapan tersebut; dan mereka bertemu nyaris setiap
hari; sudah bisa ditebak cerita ini akan dibawa ke mana. Menyebalkannya lagi,
lebih dari setengah novel ini melulu bercerita tentang: Nadya berinteraksi
Daryl—diselingi Nadya beriteraksi dengan Kemal, Mak Ros, dan orang-orang yang
membantunya di penginapan; Nadya berinteraksi lagi dengan Daryl—diselingi
Nadya berinteraksi dengan ibunya; Nadya berinteraksi lagi dengan Daryl—diselingi
Nadya berinteraksi dengan ayahnya. Begitu-begitu terus, sampai saya berpikir:
cerita ini mau dibawa ke mana?
Buku
ini ditulis dengan alur yang lambat dan cerita kehidupan tokoh-tokohnya
berjalan dengan apa adanya, jadi kamu kau harus sabar membacanya. Herannya, kenapa
saya begitu menikmati membaca buku ini dan tidak melewatkan setiap lembarnya? Plot
cerita yang tersusun rapi, karakter yang kuat, dan, yang mengejutkan, cara
Bulan Nosarios bertutur yang mengingatkan saya pada buku-buku yang ditulis oleh
pengarang luar, merupakan beberapa hal yang membuat saya tetap bertahan. Kiranya,
Bulan Nosarios adalah seorang pelahap buku,
seseorang yang membaca banyak sekali buku bagus di hidupnya. Saya pikir,
saya tak akan menemukan kesalahan ejaan dan typo
dan kalimat-kalimat janggal dalam buku ini, tapi ternyata, berkat ketelitian
saya, saya menemukannya beberapa (saya tuliskan di bagian bawah tulisan ini).
Seperti
yang saya tebak di awal, saya memang tidak menemukan terlalu banyak Takengon di
buku ini. Well, saya bisa menolerir
hal ini, karena, seperti yang saya bilang, ini buku berlabel Amore dan bukannya
buku dengan label satunya lagi, dan apakah penulisnya ingin menguatkan setting melulu tentang destinasi atau
tidak, itu adalah pilihan penulisnya. Penulis memang membawa sedikit unsur
lokalitas Gayo ke dalam cerita, yaitu pertunjukan saat adanya pertunjukan Didong dan pacuan kuda. Sayangnya, itu
tidak dieksplor dengan detail. Saya tidak berharap penulis akan menuliskan
secara detail tentang apa itu Didong
dan bagaimana pacuan kuda dari awal hingga selesainya acara, karena, hei, ini
fiksi, bukan buku nonfiksi tentang mengenal kebudayaan Gayo. Tetapi tetap saja,
rasanya ‘pengetahuan’ tentang itu terlalu sedikit. Tentang pertunjukan Didong misalnya, saya pikir, saya akan
melihat Didong melalui sudut pandang
Daryl, tetapi tidak ada sama sekali. Daryl hanya mengatakan kepada Nadya bahwa
betapa kerennya Didong, selebihnya
Nadya yang menambahkan sedikit saja penjelasan. Demikian juga dengan adegan di
arena pacuan kuda, alih-alih kita dibawa ke arena pacuan, keduanya justru sibuk
di stand boneka dan membahas tentang
boneka.
Meskipun
kisah Damar Hill berpusat pada
kehidupan Nadya dan Daryl, buku ini tidak melulu tentang kisah cinta. Ada
misteri dan luka masa lalu yang disimpan rapat-rapat oleh kedua tokoh, yang
mulai dibuka sedikit demi sedikit seiring keduanya mulai membuka diri. Saya tidak menemukan satu pun kata cinta yang
tersurat semacam ‘mencintai’ atau ‘menyukai’, tetapi ajaibnya, saya bisa
merasakan besarnya cinta Daryl ke Nadya dan berharap mereka berakhir dengan
bahagia. Good job, Bulan Nosarios! Anda
adalah penulis roman ke sekian yang membuktikan bahwa tanpa adegan sentuhan
fisik pun, cinta akan terasa sama manisnya.
***
Beberapa
typo:
Meremahkan
(hal 31), seharusnya meremehkan.
Tombol
reply (hal 79). Seharusnya replay.
Menahan
(hal
186), seharusnya menanam
Adalah
(251), tertulis dua kali
Salah
ejaan:
Handal
(hal 57), seharusnya andal.
Rahasia
antar lelaki (hal 259), seharusnya antarlelaki (ditulis gabung dan bukan
dipisah, karena ‘antar’ adalah kata terikat)
Beberapa
kalimat yang menurut saya janggal:
-
Dia
memakai setelan rapi tanpa dasi yang membuat Nadya berpikir laki-laki itu bisa
saja keluar dari katalog Armani. (hal 10). Sepertinya ada
yang kurang pada kalimat ini, tetapi saya tidak menemukan apa itu.
-
Gadis
itu punya kemampuan aneh membuat Daryl ingin tersenyum. (hal
67). Sepertinya, kalimat tersebut ketinggalan kata ‘yang’ setelah kata ‘aneh’.
-
… untuk
bertanya masih berapa lama lagi sampai makan siang siap. (hal
83). Siap berarti bersiap untuk mengerjalan sesuatu. Tapi bagi orang Aceh dan
Sumatera Utara, ada makna satu lagi, yaitu selesai mengerjakan sesuatu.
Masalahnya, makna siap yang kedua hanya dipahami oleh orang Aceh dan Sumut
saja. Seharusnya, ditulis ‘selesai’ saja.
-
Dan
lihat dia sekarang, bersinar, cerdas, berani, dan memiliki Kemal di sisinya. (hal268).
Menurut saya: Dan lihat dia sekarang: bersinar, cerdas, berani, dan memiliki
Kemal di sisinya. Kenapa saya menyarankan pakai titik dua untuk menggantikan koma
yang pertama? Karena bersinar, cerdas, berani, dan memiliki seseorang yang bisa
diandalkan adalah bagian gambaran keadaan sekarang.
Demikian.
0 comments