Setelah
semalam membaca pengakuan Atria di blognya, tentang bagaimana perubahan adaptasinya
dengan bacaan yang minim dialog dan maksi narasi, saya seperti melihat ke diri
saya sendiri. Akhir-akhir ini, ketika saya membaca buku dengan tipikal seperti
itu, dan seperti halnya Atria, saya menyadari bahwa pembacaan saya dulu dan
sekarang, juga berubah. Bukan soal
seberapa banyak, tapi soal bagaimana saya reaksi saya terhadap buku yang akan/sudah
saya baca. Setidaknya ketika saat ini saya membaca kembali, misalnya, buku George
Orwell yang minim dialog dan maksi narasi, atau sebaliknya, cerpen-cerpen Joni
Ariadinata yang banyak dialog, bisa saya lakukan dengan bebas dan tanpa hambatan sekali. Seperti jalan tol :D
Dan bukan hanya untuk buku-buku seperti itu saja sebenarnya, bahkan termasuk
buku yang tergolong ‘gelap dan muram’ seperti novel Semusim, dan Semusim
Lagi ini.
Kapan
ya terakhir kali saya membaca buku Dee, saya tidak ingat persis. Yang pasti itu
sudah lama sekali, bertahun-tahun lalu. Itu adalah buku yang berjudul Filosofi
Kopi, dan saya langsung suka dengan tulisan Dee. Sementara buku Perahu
Kertas ini sudah lama sekali ngejogrok di lemari buku, tapi baru
sempat membacanya akhir-akhir ini. Hari gini baru membaca Perahu Kertas?
Tak apalah lambat, daripada tidak sama sekali :D Jadi, ada untungnya juga saya
ikutan #ReviewChallenge bersama teman-teman di facebook. Selain cukup
siginifikan mendongkrak semangat menulis (review), ini juga mendongkrak
semangat saya untuk lebih banyak membaca. Tidak sekadar membelinya lalu simpan,
xixixii…
Judul :
Menjadi Djo
Penulis : Dyah Rinni
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Mei 2014
Tebal : 296 halaman
ISBN :
9786020304472