Born to Travel: Dari Patung Liberty ke Pulau Paskah di Chili
Wednesday, January 31, 2018
Saya selalu iri dengan orang-orang
yang melakukan perjalanan, karena saya sadar diri saya tak mampu—secara
finansial, tenaga, dan keberanian—melakukannya. Lebih iri lagi
jika perjalanan tersebut tak biasa—berhari-hari bahkan
berminggu-minggu, ke tempat-tempat tak biasa, tersesat, bahkan tak jarang
terisolasi. Kalau sekadar liburan atau curi-curi waktu di sela-sela perjalanan
dinas atau tugas, mungkin semua orang bisa melakukannya, termasuk saya.
Yang
lebih membuat saya kagum lagi adalah ketika mereka mampu menuliskan catatan
perjalanannya menjadi catatan yang tak biasa—dan ternyata bagus pula.
Pada
akhirnya, iri dan kagum nyaris tak ada bedanya.
Well, akhir-akhir ini
saya agak selektif terhadap buku. Sebagaimana saya yang sangat ‘pemilih’ atas
bacaan fiksi—dalam artian saya hanya mau membaca buku-buku atau tulisan fiksi
bagus—demikian juga saya ketika membaca buku nonfiksi. Masalahnya, kecuali
buku-buku terbitan lama yang sudah sering mendapat rekomendasi bagus atau
tidaknya dari banyak orang, saya tidak pernah benar-benar tahu sebuah buku yang
baru diterbitkan akan bagus atau tidak, akan memenuhi ekspektasi membaca saya atau
tidak. Apalagi buku-buku perjalanan saat
ini semakin booming—karena semakin
banyak traveler menulis buku. Saya
benar-benar harus selektif dalam membeli buku-buku bertema traveling yang jumlahnya sangat bejibun di toko buku. Bukan karena gimana-gimana,
tapi lebih karena terasa sekali saat ini waktu untuk membaca buku sangat
sedikit.
Jadi
boleh dibilang saya ‘berjudi’ ketika memutuskan membeli buku berjudul Born to Travel ini. Saya tidak tahu
apakah buku ini akan memenuhi ekspektasi saya atau tidak. Saya memesannya lebih
karena salah satu penulisnya, travel blogger yang menjadi salah satu teman saya
di media sosial, adalah teman yang baik hati, tidak sombong, dan rajin berjalan.
*saya juga baik dong karena sudah membeli
buku teman yang baru terbit dan bukan meminta :p
Apa
kriteria buku atau tulisan perjalanan standar saya? Yang paling penting adalah
tulisannya bukan melulu tentang destinasi, tidak mencoba menjelaskan terlalu
banyak tentang destinasi—karena saya bisa mendapatkannya dengan bantuan Google.
Yang saya cari adalah tulisan tentang cerita perjalanan itu sendiri, dan
ditulis dengan baik tentunya.
Well, sebenarnya tidak
semua tulisan di buku ini memenuhi ekspektasi saya—hanya satu atau dua saja.
Selebihnya, cakep-cakep semua—tulisannya. Ketika membaca tulisan Amerika Serikat dan Kebebasan karya Arif
Rahman, saya hampir menjadikan tulisan tersebut sebagai tulisan favorit saya di
buku ini. Saya membacanya sekali lagi di depan Abel, anak saya, yang juga
menjadikan Amerika Serikat sebagai destinasi impiannya kelak ketika dia dewasa—entah
jika nanti ternyata berubah, who knows?
Sebuah
ide yang cukup jitu menempatkan tulisan cerita perjalanan ke Amerika-nya Arif
Rahman sebagai pembuka karena, seringnya, pemikat sebuah tulisan atau buku ada
di tulisan pembukanya.
Why USA? Well, why not? Semua orang ingin
ke Amerika Serikat, setidaknya sekali seumur hidup.
Diceritakan ketika impian Arif Rahman untuk menginjakkan kakinya di negara
adidaya Amerika Serikat akhirnya akan terwujud, tidak serta merta kemudian
semuanya semudah membalikkan badan. Ada proses panjang yang rumit dan njelimet yang harus dilaluinya. Namun
berkat kesabarannya, Arif Rahman akhirnya bisa melakukan swafoto (disertakan
dengan foto swafoto dirinya di dalam
buku ini) di depan Patung Liberti yang dikaguminya sejak kecil.
Sejak kecil saya mengagumi patung
setinggi 46 meter tersebut. Apabila ditanya tentang apa yang diingat dari
Amerika, jawaban saya ada dua, yaitu Liberty Statue dan McDonald’s.
Kami—saya
dan Abel—tersenyum ketika membaca kalimat tersebut. Teringat betapa dalam
setahun terakhir ini dia kerap sekali membincang Amerika dan Patung Liberty dan
berharap suatu hari dia bisa menginjakkan kaki di tempat tersebut. Tetapi, apa yang
membuat saya begitu menikmati tulisan Arif Rahman bukan semata-mata karena
impiannya sama dengan impian putra saya, melainkan lebih karena Arif Rahman
menguasai teknik bercerita.
Hal
yang sama juga saya temukan pada tulisan Hendra Fu, Meninao, Haryadi Yansyah,
Taufan Gio, Irene Tridiani, dan Indra P. Nugraha. Tulisan-tulisan mereka terasa
begitu hidup dan mampu menarik saya ke dalam cerita perjalanan mereka. Bahkan, kerennya, Hendra Fu menulis Terpencil Bersama Raja Ampat dengan memakai
teknik bercerita alur maju mundur. Teknik penulisan yang umumnya dipakai oleh
penulis fiksi. Oh well, saya tiba-tiba merasa dejavu. Gaya bercerita Hendra Fu
mengingatkan saya pada tulisan-tulisan perjalanan Tempo Edisi Khusus CERITA
DARI LAUT. Terpencil Bersama Raja
Ampat bukan tulisan yang terlalu panjang, namun cukup menciptakan
ketegangan saat membaca bagaimana kapal kecil yang ditumpangi Hendra Fu dan tim terjebak badai di perairan
Raja Ampat di tengah malam, dan tiada seorang pun bisa menolong mereka, kecuali
sang kapten kapal.
Sayup-sayup terdengar suara alunan
senandung. Sesaat kami saling berpandangan sebelum menyadari bahwa kapten-lah
yang menjadi asal suara tersebut. Wajah-wajah menegang, tidak ada satu pun yang
bergerak dan bersuara. Kapten mengeraskan volume nyanyiannya, diiringi sesekali
monolog yang mendramatisir keadaan.
Perjalanan
Hendra Fu dan timnya di desa-desa di gugusan pulau Raja Ampat tidak hanya
mengajarkan mereka untuk bagaimana bisa bertahan dari sesuatu yang terduga seperti
halnya cuaca ekstrem di tengah malam nan gelap gulita, lebih dari itu,
perjalanan juga mengajarkan mereka untuk tetap menjunjung tinggi kearifan lokal
dan merasakan keterasingan—namun penuh kekayaan—di bumi bagian timur Indonesia.
Catatan
perjalanan tak biasa lainnya ditulis oleh Meninao, nama yang tidak pernah saya
dengar sebelumnya kecuali dari buku ini. Atau, mungkin karena saya tidak pernah
berkecimpung di dunia travel bogger,
sehingga saya tidak tahu siapa dia. Meninao pernah bekerja di kapal pesiar,
tepatnya di sebuah kafe di sebuah kapal pesiar. Tersebutlah ketika suatu waktu
kapal tersebut berlabuh dalam waktu lama di Cape Town, Afrika Selatan. Dengan
rutinitas pekerjaan di kafe yang padat, Meninao harus mencuri-curi waktu agar
bisa menikmati Cape Town yang eksotik dan penuh sejarah.
Agak
mirip dengan Meninao, Taufan Gio yang melakukan perjalanan ke Kerala, India,
karena memenangkan sebuah kontes blog, juga terjebak dengan kegiatan seremoni
yang membosankan yang diadakan oleh penyelenggara kontes tersebut. Taufan Gio
dan sedikit orang yang tidak betah dengan kegiatan formal tersebut, memutuskan
untuk keluar dari rombongan dan berjalan ke mana kaki membawa mereka. Sedikit
ketersesatan membuat mereka bisa melihat sisi lain Kerala.
Masih
di India, ada Haryadi Yansyah dengan perjalanan solonya ke Varanasi. Kenapa
harus Varanasi? Jika kau ingin melihat yang sesungguhnya, maka datanglah ke
Varanasi. Inilah pusat kota Hindu di India. Varanasi menjadi kota suci bagi
umat Hindu. Keindahan kota di satu sisi harus bersanding dengan kesemrawutan di
sisi lainnya. Saya bisa membayangkan bagaimana bejubelnya manusia di kota ini,
kota yang tidak hanya didatangi oleh turis mancanegara, juga oleh penduduk lokal
yang ingin membersihkan dosa di Sungai Gangga. Kemiskinan dan kesenjangan
sosial begitu terpampang nyata di kota ini—permasalahan umum kota-kota dengan
penduduknya yang padat. Haryadi bukan saja hampir didepak dari kerata api
akibat ulah oknum petugas kereta api, dia juga nyaris kena palak oleh seorang guide yang mengantarnya ke penginapan.
Haryadi memilih membersamai anak-anak di jalanan, tetapi ternyata bahkan
anak-anak pun sudah pintar memalak turis. Duhai, betapa kemiskinan begitu dekat
dengan kejahatan.
Nama
lainnya yang asing buat saya adalah penulis catatan perjalanan ke Australia:
Irene Tridiani. Irene menulis tentang perjalanannya dan tim ke sebuah pulau
pasir terbesar di dunia, Fraser Island. Tulisan Irene mungkin bukan jenis
tulisan favorit saya, tetapi karena destinasi yang didatangi Irene tidak biasa
dan tampaknya agak memicu adrenalin, saya mengikuti dengan serius catatan
perjalananya.
Senada dengan Irene, ada Indra P. Nugraha dengan tulisan perjalanannya ke Labirin Fes El Bali, Maroko. Baru kali ini saya benar-benar menikmati tulisan perjalanan yang dominan bercerita tentang destinasi. Ada banyak catatan perjalanan ke Maroko yang ditulis oleh pelancong dalam negeri, umumnya ke tempat-tempat yang mainstream. Namun, tulisan tentang Fes El Bali (Kota Tua) dan Fes Jdid (Kota Baru) dan hubungannya dengan kejayaan Islam di masa lampau, benar-benar telah memukau saya. Sisa-sisa bangunan masa lampau masih terawat dengan baik. Penulis sengaja membiarkan dirinya tersesat dalam labirin bangunan dengan tembok-tembok tinggi yang seolah tiada berujung. Pada suatu kesempatan, penulis bisa melihat penampakan keseluruhan kota dari atas bukit di sisi kota. Terlihat bagaimana Fes El Bali adalah kota yang sangat luas dengan bangunan-bangunannya yang padat, tembok-tembok yang menjulang tinggi, dan begitu rapat (disertai dengan foto penampakan kota di dalam buku). Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya saya berada sendiri di kota itu, pasti saya akan tersesat berkali-kali!
Senada dengan Irene, ada Indra P. Nugraha dengan tulisan perjalanannya ke Labirin Fes El Bali, Maroko. Baru kali ini saya benar-benar menikmati tulisan perjalanan yang dominan bercerita tentang destinasi. Ada banyak catatan perjalanan ke Maroko yang ditulis oleh pelancong dalam negeri, umumnya ke tempat-tempat yang mainstream. Namun, tulisan tentang Fes El Bali (Kota Tua) dan Fes Jdid (Kota Baru) dan hubungannya dengan kejayaan Islam di masa lampau, benar-benar telah memukau saya. Sisa-sisa bangunan masa lampau masih terawat dengan baik. Penulis sengaja membiarkan dirinya tersesat dalam labirin bangunan dengan tembok-tembok tinggi yang seolah tiada berujung. Pada suatu kesempatan, penulis bisa melihat penampakan keseluruhan kota dari atas bukit di sisi kota. Terlihat bagaimana Fes El Bali adalah kota yang sangat luas dengan bangunan-bangunannya yang padat, tembok-tembok yang menjulang tinggi, dan begitu rapat (disertai dengan foto penampakan kota di dalam buku). Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya saya berada sendiri di kota itu, pasti saya akan tersesat berkali-kali!
Selain
tulisan perjalanan di atas, pembaca juga diajak menjelajah Lithuania bersama
kastil-kastil peninggalan masa lalu; berkeliling Praha dengan bangunan-bangunan
tuanya dan melihat The Dancing House yang
fenomenal; lalu terdampar di Ras Al Khaimah (Uni Emirat Arab) serta merasakan
bagaimana ketegangan Fahmi Anhar, sang penulis, saat terjebak badai pasir;
perjalanan Risa Bluesaphier di Iran, dan catatan tentang raksasa dari Pulau
Paskah, Chili.
Menegangkan!
Saya
tidak menyesal telah membaca buku ini.
2 comments
Hahaha, ya, kayak twitku beberapa hari lalu, agak dipertanyakan jika ada seseorang, mengaku teman tapi suka malak buku yang baru saja "dilahirkan" oleh temennya. Makasih sudah membeli ya mbak. Dikirim dari Palembang ke Banda Aceh *well, bukunya sendiri melakukan perjalanan yang panjang.
ReplyDeleteSemoga suatu saat kita bisa jumpa ya, amiiin :)
Tahun lalu sempat menimang-nimang buku ini di Gramedia, semoga bulan ini bisa benar-benar meminangnya. Keren tulisannya mbak, makin meyakinkan saya buat membaca bukunya :)
ReplyDelete