Pulang; Perjalanan Menemukan Kembali Hakikat Hidup
Wednesday, March 30, 2016
Pulang,
begitu judul novel Tere Liye yang terbit perdana pada September 2015 lalu. Judul
yang paling banyak dipakai sebagai judul oleh penulis fiksi Indonesia–baik
cerpen maupun novel. Tapi tentu saja, Pulang-nya
you know who yang paling tenar dan
abadi di Indonesia. Cmiiw.
Boleh
percaya, boleh tidak. Dari belasan–atau mungkin puluhan (?)–buku Tere Liye yang
sudah terbit, saya hanya pernah membaca dua bukunya saja. Yang pertama adalah
buku yang menjadi debut Tere Liye sebagai penulis fiksi di negeri ini, yaitu Hafalan Salat Delisa. Dan terakhir adalah buku ini, Pulang.
Membaca
Pulang, saya seperti kembali ‘pulang’
ke karya-karya Tere Liye yang sempat sekian lama saya tinggalkan. Ketika dulu
membaca Hafalan Salat Delisa yang
masih ‘polos’ dan ‘compang-camping’ di mana-mana, cukuplah buat saya untuk memutuskan apakah
saya perlu melanjutkan membaca buku-buku penulis tersebut atau tidak.
Ternyata saya memilih yang kedua, sambil
berkata; ‘well, mungkin ini hanya soal
selera sehingga saya tidak merasa jatuh cinta pada tulisannya.’
Sejujurnya,
saya tidak sengaja membaca buku ini. Sama sekali tidak berniat ‘pulang’ ke
tulisan Tere Liye. Saya ingin mengikuti sebuah kompetisi menulis resensi buku Pulang, tetapi saya belum mendapatkan
bukunya karena sesuatu dan lain hal. Sampai suatu sore, tetangga depan rumah
saya, seorang pria muda pekerja bank, keluar dari rumahnya lalu duduk di teras
sambil membawa dua buah buku yang tampaknya baru dibeli. Karena rumah kami sangat
dekat, saya langsung merasa familiar dengan kaver kedua buku tersebut. Sepertinya itu dua buku terbaru Tere Liye,
begitu batin saya. Dan judul salah satu buku tersebut adalah buku yang sedang
saya inginkan. Voila! Saya langsung
berteriak memanggil tetangga saya tersebut.
“Boleh
pinjam satu? Ituuu… yang judulnya Pulang.”
Nasib
baik saya sore itu. Tapi mungkin nasib tak baik buat buatnya. Buku masih baru
tapi sudah diminta pinjam. Bhahahaa…
Sialnya,
saya tetap tidak bisa mengikuti kompetisi menulis resensi novel Pulang karena ternyata deadline-nya adalah hari itu juga.
*makanya besok-besok beli, dong!*
Demikianlah
sekilas background berbalut curcol
kenapa akhirnya saya ‘pulang’ ke buku Tere Liye. Itu tidak lebih karena tidak
sengaja. Ketidaksengajaan yang membuat saya harus menarik kembali keputusan
yang dulu. Tampaknya saya akan menjadi salah satu pembaca buku-buku Tere Liye
yang lain, mungkin untuk buku-bukunya yang terbit dalam dua atau tiga tahun
terakhir, dan kupastikan untuk buku-bukunya yang terbit di masa-masa yang akan
datang. Tere Liye tidak bisa lagi dianggap remeh! Dia telah bertumbuh dan berkembang
begitu pesat melebihi dari apa yang bisa ‘terbaca’ oleh saya dulu.
Itu
karena Tere Liye terus menulis tanpa henti. Sebentar-sebentar bukunya terbit.
Practice makes perfect,
begitu kata pepatah lama. Kekonsistenan Tere Liye menulis buku telah membuat
Tere Liye menjadi salah satu penulis yang berada di garis terdepan di negeri
ini. Buku-bukunya sering masuk dalam daftar buku laris penerbit Republika dan
Gramedia.
Well,
jika kau adalah follower fanpage Tere
Liye, mungkin kau tidak asing dengan gaya tulisan-tulisan di fanpage-nya yang lugas, kadang sarkas,
dan kadang sebijaksana Mario Teguh. Ya, apa yang kau baca di sana, sedikit banyak
akan ‘terbaca’ juga dalam bukunya. Dalam Pulang
misalnya. Eits, buat yang tidak menyukai tulisan-tulisan Tere Liye di fanpage-nya, jangan close dulu, saya belum selesai menulis ini. Yang mau saya bilang
adalah, mungkin benar demikian adanya. Tapi ini adalah buku yang berjudul Pulang, yang mana ini adalah novel, yang
mana ini adalah fiksi. Artinya apa? Gaya Tere Liye di sono memang ada di sini,
sedikiiit saja. Selebihnya ini adalah sebuah novel yang keren, yang berbeda
dengan tulisan-tulisan Tere Liye di fanpage-nya.
Jangan menyama-nyamakan dulu, sebelum kau membaca bukunya :D Ide cerita yang
tidak biasa, diramu dengan konflik yang njelimet,
karakter tokoh yang kuat, alur maju mundur yang teratur, dan berbagai kejutan
yang disuguhkan secara apik, akan kau temukan di sini.
***
Saya
sedang membaca Pulang ketika bom
meledak di Sarinah, Jakarta. Orang-orang
di media sosial sibuk berteriak tentang pengalihan isu. Sementara dalam Pulang
yang sedang saya baca saat itu, orang-orang suruhan dari orang-orang yang
berkuasa di negeri ini dengan enteng membuat pengalihan isu dengan meledakkan
bom atau membuat kerusuhan ketika mereka sedang dalam posisi terancam. Mereka
adalah penguasa yang tak kasat mata, penguasa di atas penguasa. Mereka ada
tetapi tiada. Membaca orang-orang ini dalam Pulang,
saya teringat dengan kasus pembakaran/kebakaran hutan secara besar-besaran di
Sumatra dan Kalimantan. Kasus yang telah
berkelindan bertahun-tahun tetapi pelakunya tak pernah bisa diusut. Bukan karena
tidak tahu siapa, tetapi lebih karena pemerintah negeri ini tidak mampu
membekuk si pemilik korporasi besar. Mereka memiliki kekuatan yang lebih besar.
Mereka menguasai ekonomi negeri ini. Mereka bahkan menguasai semua bidang.
Tetapi tetap saja, mereka ada tetapi tiada. Inilah yang–dalam Pulang–disebut Shadow Economy, ekonomi yang berjalan di ruang hitam, di bawah
meja. Shadow Economy dikendalikan
oleh jaringan organisasi raksasa yang tersebar di berbagai negara.
Pencucian
uang, perdagangan senjata, transportasi, properti, minyak bumi, valas, pasar
modal, retail, teknologi mutahir,
hingga penemuan dunia medis yang tidak ternilai, yang semuanya dikendalikan
oleh institusi ekonomi pasar gelap.
Mereka tidak dikenali oleh masyarakat, tidak terdaftar di pemerintah,
dan jelas tidak diliput media massa.
Mereka berdiri di balik bayangan. Menatap semua sandiwara kehidupan
orang-orang, termasuk saat orang-orang suruhan mereka ketika menciptakan
skenario ‘pengalihan isu’ untuk mengalihkan perhatian dari sesuatu.
Lalu,
dengan adanya kejadian bom di Sarinah Jakarta ketika negara ini sedang
berhadapan dengan perusahaan raksasa di timur Indonesia, dengan hasil ‘aneh’
sidang terhadap kebakaran hutan di Sumatera, kebijakan-kebijakan yang tidak
berpihak pada rakyat kecil, dua sisi hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke
atas, dan berbagai kebijakan absurd
lainnya di negeri ini, mau tidak mau, saya ikut
terpengaruh dengan teori Shadow
Economy yang dipaparkan Tere Liye dalam Pulang.
Kita semua tahu bahwa di negeri ini, ada orang-orang kaya yang bahkan jika membeli seluruh aset negeri ini, mereka
mungkin mampu. Tetapi sistem Shadow
Economy? Nyatakah mereka?
Dari
tadi saya mengulang-ngulang tentang Shadow
Economy dalam novel Pulang,
tetapi jangan kau bayangkan bahwa Pulang
adalah bacaan menjemukan tentang teori-teori ekonomi. Bukan sama sekali. Pulang adalah cerita tentang seorang
anak manusia bernama Bujang yang ‘pulang’ untuk menemukan kembali hakikat hidup
setelah dua puluh hidup dalam dunia hitam Shadow
Economy.
Perjalanan
hidup Bujang selama dua puluh tahun ditulis dengan alur maju mundur. Sebuah
strategi yang cerdas, karena jika sebaliknya, kisah Bujang akan terasa
menjemukan. Dengan cara ini, potongan-potongan kisah masa lalu dibuka satu
persatu. Dengan cara ini pula, bahkan meski dengan menggunakan teknik
penceritaan dari sudut pandang orang pertama, si tokoh ‘aku’ bisa mengetahui
banyak hal di luar dirinya.
Membaca
Pulang, saya seperti menonton
film-film laga dari Hongkong. Cerita konspirasi, perebutan kekuasaan antar
kelompok mafia, pertunjukan berbagai jurus mematikan, pengkhianatan, hingga (rencana)
pembunuhan. Seru dan menegangkan. Baca buku tapi kayak nonton film action. Itulah Pulang. Highly recommended!
3 comments
Kalau kak Eqi bilang highly recomended berarti memang harus dicari :D
ReplyDeleteKemarin udah megang novel ini tapi di menit2 terakhir mau ke kasir Nufus tarok lagi di rak...
Tere Liye ini karyanya emang nggak perlu diragukan lagi ya Mak.. Makasi reviewnya Maaak
ReplyDeleteHmm berarti musti baca karya Tere Liye yang Negeri Para Bedebah dan sekuelnya. Temanya sama, temponya cepat, banyak action, bikin penasaran dan ga mau lepasin bukunya sampe akhir :D
ReplyDelete