Semusim, dan Semusim Lagi

Sunday, November 30, 2014

Setelah semalam membaca pengakuan Atria di blognya, tentang bagaimana perubahan adaptasinya dengan bacaan yang minim dialog dan maksi narasi, saya seperti melihat ke diri saya sendiri. Akhir-akhir ini, ketika saya membaca buku dengan tipikal seperti itu, dan seperti halnya Atria, saya menyadari bahwa pembacaan saya dulu dan sekarang, juga  berubah. Bukan soal seberapa banyak, tapi soal bagaimana saya reaksi saya terhadap buku yang akan/sudah saya baca. Setidaknya ketika saat ini saya membaca kembali, misalnya, buku George Orwell yang minim dialog dan maksi narasi, atau sebaliknya, cerpen-cerpen Joni Ariadinata yang banyak dialog, bisa saya lakukan dengan bebas dan  tanpa hambatan sekali. Seperti jalan tol :D Dan bukan hanya untuk buku-buku seperti itu saja sebenarnya, bahkan termasuk buku yang tergolong ‘gelap dan muram’ seperti novel Semusim, dan Semusim Lagi ini
Semusim, dan Semusim Lagi adalah novel pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012 dengan genre surealis (magical-realism/surreal-fiction). Bagi pembaca yang tidak suka dengan bacaan-bacaan absurd, jarang bisa klik dengan genre fiksi yang satu ini. Berat, suram, dan tidak jarang membuat kening berkerut. Intinya, semakin dibaca semakin tidak mengerti. Apakah sebuah tulisan/buku ditulis memang bertujuan untuk membuat pembacanya tidak mengerti? Bukankah seharusnya dengan membaca kita menjadi semakin tahu dan mengerti? Dulu, pertanyaan-pertanyaan seperti itu berkelindan di benak saya. Namun seiring waktu, saya mulai belajar bahwa membaca fiksi adalah soal bagaimana kau bermain dengan imajinasi. Untuk memulainya, agaknya saya setuju dengan apa yang ditulis oleh Bernard Batubara bahwa membaca itu harus sabar dan ikhlas, tidak memiliki prasangka dan duga-duga, melepaskan eskpektasimu atas buku yang akan dibaca.  Karena hanya dengan demikian kita bisa menikmati sebuah bacaan, tambah Bernard.
Mungkin, kau bisa mencoba cara-cara seperti itu, atas bacaan dengan ‘stigma’ berat, gelap, suram, absurd, atau apapunlah sebutan yang sejenis itu :D
Semusim, dan Semusim Lagi bercerita tentang tokoh aku tak bernama dan dunia petualangannya. Petualangannya bersama buku-buku (saya nyaris tak pernah mendengar nama-nama pengarang favorit ‘aku’ yang disebutkan dalam buku ini), petualangannya bersama musik jazz serta musik blue (lebih-lebih ini, sama sekali buta dengan musik jazz jadul). Sampai suatu hari, tokoh aku menerima sepucuk surat dari seorang laki-laki yang mengaku sebagai ayahnya dan memintanya datang ke sebuah kota, bernama kota S. Dimulai dari kabar yang diterima melalui  sepucuk surat, tokoh aku memulai sebuah petualangan baru. Membuatnya bertemu dengan orang-orang baru; J.J Henri teman akrab ayahnya, Muara anak laki-laki J.J Henri yang kemudian menjadi satu-satunya orang di dunia ini pernah diakrabi tokoh aku, Oma Jaya si perempuan tua tetangga barunya di kota S, lalu… ada Sobron. Sobron membawa tokoh aku ke dunia petualangan yang berbeda dari sebelumnya. Dan sesungguhnya, kehadiran Sobron adalah inti dari cerita ini.
Well, yang paling membuat saya klik dengan Semusin, dan Semusim Lagi adalah karena sebenarnya ini adalah novel dengan muatan psikologi, yang mana ini sesuai dengan bidang pendidikan nursing psychiatric yang sedang saya jalani. Di kelas Psikiatri kami, menonton film-film ‘gelap’, ‘suram’, atau ‘berat’ tentang dunia psikiatri, adalah kegiatan rutin bulanan. Oh, jangan membayangkan bahwa di buku ini kau akan menemukan dokter mendiagnosa pasiennya dengan Skizofrenia atau Gangguan Bipolar atau Depresi, misalnya. Andina Dwifatma, penulis buku ini, tidak menceritakan tentang gangguan kejiwaan tersebut secara gamblang. Tugas penulis cukup dengan membawa imajinasi pembacanya melangkah sedikit demi sedikit ke arah sebuah gejala, lalu ditunjukkanlah semuanya di satu titik. Di sini terlihat bagaimana penulis dengan caranya sendiri menggunakan metode show not tell saat sedikit demi sedikit menguak gajala-gejala psychosis yang dialami tokoh novel ini. Sampai pada titik ini, saya sebagai pembaca yang merasa nyaris bosan setengah mati pada awal membaca buku ini, menjadi mengerti kenapa tokoh utama cerita ini digambarkan sebagai si kutu buku yang introvert dengan dunianya. Atas segala sesuatu yang terjadi hari ini, sesungguhnya itu terjadi karena ada pencetus sebelumnya. Tentu akan aneh, pada orang yang sehat-sehat belaka –sehat pikir serta sehat dalam berinteraksi sosial– tiba-tiba harus masuk rumah sakit jiwa.
Ditulis dengan sudut pandang orang pertama (aku tak benama), novel ini berfokus pada eksplorasi kehidupan si tokoh yang bersinggungan dengan dua temannya, Muara dan ikan Mas Koki, serta gejala-gejala psikologis yang kemudian hari menyertainya. Dalam banyak kesempatan, si tokoh kerap melontarkan sindiran halus terhadap apa yang tertangkap oleh indranya.  Tentang orang-orang yang sibuk mengurusi orang lain, tentang pengendara sepeda motor  yang kerap menggunakan trotoar yang harusnya digunakan oleh pejalan kaki, juga tentang sikap orang-orang yang menggunakan hak demokrasi namun justru membuat mereka berseteru satu sama lain karena perbedaan pendapat. Bukankah demokrasi berarti bahwa setiap orang berhak mengemukakan gagasannya?  Tapi pada kenyataannya, atas nama demokrasi, jika gagasanmu tak sesuai harapan orang, maka kau bersalah. Pada bagian ini, terasa bahwa apa yang kita lihat saat ini, adalah itu disebut demokrasi. Kita semua bebas berpendapat. Ya,, bebas, tapi bablas.
Beberapa kali tokoh aku melontaran kritik, yang menurut saya agak terlalu berani, agak bablas. Misalnya saat si aku dan Muara membahas tentang sejarah Cappuchino dan hubungannya dengan para aktivis gereja (biarawan) di Eropa pada abad ke-17. Apa yang orang-orang bisa simpulkan jika membincang tentang ini? Lebih kurang, mungkin, begini; Cappuchino adalah minuman para biarawati dan kita (Muslim) tidak boleh meminum Cappuchino karena dianggap mengikuti gaya hidup orang Kristen–meskipun mengikuti orang Non-Muslim memang dilarang agama. Ini adalah sebuah cara menarik kesimpulan yang kurang baik. Orang-orang nasrani jaman dahulu minun air putih menggunakan gelas, dan adalah kurang baik jika menarik kesimpulan bahwa kita tidak boleh minum air putih menggunakan gelas karena orang nasrani melakukan hal yang sama. Tetapi dalam hal ini, alih-alih menggunakan contoh sederhana seperti itu, tokoh secara gamblang menyatakan kemungkinan atas apa yang di awal saya sebut kritik yang terlalu berani. “Jangan minum Cappuchino, itu bid’ah!” (Hal. 79), adalah kalimat yang agak terlalu berani, menurut saya. Masih tentang ‘agak terlalu berani’, pada halaman 114 terdapat isi dialog Muara kepada ‘aku’: “Bandingkan dengan agama-agama langit yang sangat jijik pada seks sebagai sesuatu yang hina, yang justru menunjukkan apa isi kepala mereka sebenarnya.” Sebenarnya, maksud saya begini: (1) soal bid’ah, pada kenyataannya memang benar ada fakta seperti itu bahwa di dunia ini ada orang sok pintar mudah menyesatkan orang lainatau membid’ah sesuatu, tetapi si tokoh lupa ada lebih banyak orang pintar (beneran) tak melakukannhya; (2) soal seks dan agama-agama langit, pada kenyataannya agama langit membolehkan membicarakan seks, apalagi melakukannya, tetapi melalui jalan yang benar dan halal, jika ada yang sebaliknya maka kita bisa menganggapnya oknum, dan oknum ada pada orang dengan agama apapun. Nah, pernyataan-pernyataan berani yang cenderung bersifat generalisasi seperti contoh dua isi percakapan di atas, selain menyalahi metode penarikan kesimpulan, efek lebih luas adalah menyinggung perasaan umat beragama di bawah langit.  
Mungkin bagi sebagian pembaca, terutama yang menyukai genre bacaan seperti ini, hal-hal demikian bukan sebuah kekurangan, tapi saya peribadi agak kurang nyaman ketika bertemu dengan pernyataan-pernyataan seperti itu, hehee… Selain tentang banyaknya ‘pamer’ bacaan atau ‘pamer’ pengetahuan si tokoh akan ragam musik (yang mana pada awalnya membuat saya agak ngos-ngosan membaca buku ini di awal-awal) dan soal keberaniannya menyindir agama-agama langit, selebihnya buku ini bisa saya nikmati dengan santai. Senikmat menyesap segelas Cappuchino.  
Buku ini juga sarat dengan perenungan yang mendalam; tentang hidup, tentang cinta, tentang kehilangan, juga tentang sifat-sifat manusia.
…senja sama belaka dengan semua hal di dunia ini: suatu ketika harus berakhir. Aku selalu merasakan kekosongan jika senja sudah benar-benar hilang, tetap sebuah suara kecil di otakku menghibur dengan berkata bahwa besok toh senja akan datang lagi–kecuali kalau mendung. Kurasa itulah yang membedakan senja dengan ‘semua hal di dunia ini’. Amatlah mudah  berpisah dengan sesuatu yang kau tahu akan kembali lagi keesokan harinya. Tetapi di dunia nyata, setiap hal yang kau lepaskan akan pergi darimu tanpa pernah kembali lagi. (Hal. 62).
…jawaban yang kau cari telah begitu jelas, seolah-olah ada di depan wajahmu dari tadi, hanya kau tidak menyadarinya. Kebanyakan manusia seperti itu. Seperti anak anjing mengejar ekornya sendiri, manusia selalu berputar-putar, mencari jawaban dari berbagai pertanyaannya. Karena sibuk mencari di luar, ia tidak menyadari apa yang dicarinya sudah ada dalam diri sendiri. (hal. 102).
***
Awalnya, agak bingung kenapa kaver buku ini bergambar ikan. Agak tidak nyambung dengan cerita tokoh 'aku' dengan dunia buku, film, dan musiknya. Sampai akhirnya pada pertengahan buku, saya menemukan korelasi ikan dengan tokoh utama. Sangat mendebarkan!

You Might Also Like

18 comments

  1. si pengarang adalah murid AS Laksana, jadi wajar saja kalau gaya tulisnya sama. Aku mau baca lagi ah..

    ReplyDelete
  2. Wah, iyakah?? baru tauuuu....
    Aku punya novelnya AS Laksana, tapi belum kubaca :D

    ReplyDelete
  3. Baca pertama , saya blank , baca kedua , baru mulai asyik, baca ketiga kali , terasa bbrp bagian yg nanggung , tp humornya mank rd sarkastis , spt yg mbak sebut diatas .

    ReplyDelete
  4. Oya , judulnya Semusim , mbak , bukan semusin , hehe

    ReplyDelete
  5. Oalah, itu typo mbaaaak, wkwkwk.... baru sadar :v

    ReplyDelete
  6. wihh... surealis. belum pernah baca. Kalau cerpen surealis sih pernah.

    susah buat direview kalau kita bukan penyuka atau memahami genre ini hehe... saya baca yang ringan-ringan aja dulu deh :))

    ReplyDelete
  7. Ini sebenarnya ringan juga mbak Melani. Sangat ringan malah, Hanya soal bagaimana cara memulainya, hahaa...

    ReplyDelete
  8. Wah, awalnya tertarik baca buku ini karena godaan awal tentang si toko Aku bertualang di dunia buku, tapi lama-lama kesan darknya mengganggu. Saya ini pembaca yang sangat terpengaruh oleh bacaan saya. Bisa-bisa isi kepala saya makin suram (^_^)

    ReplyDelete
  9. hanya sedikit saja Atria, selebihnya sangat menyenangkan sekali. Tapi ya tergantung selera juga sih, hihiiiii

    ReplyDelete
  10. reviewnya keren.. kapan yaa aku bisa menimbang buku sebagus ini..
    Btw, cover bukunya cenderung riang, nggak menunjukkan muram, nggak nyangka ternyata isinya seperti itu..

    ReplyDelete
  11. betul mb Linda, kovernya cerah ceria, agak kurang menggambarkan tokohnya, hehee... tapi mengambil penggambaran tokoh ikan mas koki :D
    hanks sudah membaca mb Linda

    ReplyDelete
  12. Nah apa korelasi si tokoh aku dan ikannya kak Ekky? ..penasaran deh.
    Jadi ini buku ttg buku, film dan musik..wah ketiganya kan favoritku semua.
    Hmm reviewnya sedikit membuat kening berkerut, bukan karena jelek tapi karena kak Ekky kayaknya terpengaruh gaya bercerita bukunya..(tebakanku)..yang baca diajak berimajinasi jugaa...mikir pinter hehe

    Baca review ini aku juga kefikiran film ttg skizofrenia dan bipolar disease..kan banyak tuh film remaja yg bahas ttg bipolar ini. Tapi mendadak judulnya menguap alias lupa..(ini film genre favoritku).

    Trus untuk pernyataan yg tll berani, memang kan bid'ah itu blm tentu jelek kan mbak. Klo nggak salah pernah baca bid'ah itu sesuatu yg blm ada atau tidak dilakukan nabi pada masanya. Contoh minum capuchino iya bid'ah..krn jaman nabi blm ditemukan capuchino gmn mau minum hehe..Cuma persepsinya jadi negatif. Cmiiw.

    Dn terakhir..ini terjemahan atau lokal ya? Kok karkter..setting berasa luar negeri..
    Mksh reviewnya kak Ekky...
    Cakepp...aku banyak tahu dari membaca ini.

    Yuhuuu

    ReplyDelete
  13. Wah, aku malah mau mengomentari soal bid'ahnya nih. Sebab, dari cara si pengarang mengkritik bid'ah, malah menunjukkan kualitas pengetahuan agamanya yang minim *maaf-maaf. Bid'ah hanya dalam rangka ibadah langsung ke Allah (salat, puasa, dll). Kalau minum cappucino, makan ikan kalkun (berkaitan dgn thanksgiving), makan cokelat (berkaitan dgn Valentine), dsb, itu bukan bid'ah. Jd, pengarang sebelum mengkritik agama2 langit, lebih baik baca buku agama lebih banyak lagi :D

    Reviewnya bagus, mbak Eki, tp pengalamanku baca buku2 yg absurd, gak pernah bisa habis dibaca haghaghag... Kayaknya kalo aku gak bisa dipaksakan harus baca buku seperti ini, seperti kata Bernard Batubara.

    ReplyDelete
  14. untuk novel serius, covernya lucu :D Mungkin ada maksudnya juga kak?

    ReplyDelete
  15. wah aku belum pernah baca buku atau tulisan yang genre surelis, btw reviewnya keren

    ReplyDelete
  16. Brasa udah baca buku semusim,dan semusim lgi dgn baca reviewnya. Cool!
    Iyaa kak,kdg2 isu2 sensitiif yg dpandang dgn cara yg "sensitif" malah menimbulkan kesensitifan baru.

    ReplyDelete
  17. Saya tidak yakin bakal baca buku ini covernya kurang menarik hahahaha saya seringbbanget judge a book by its cover. tapi saya suka sekali reviewnya, Keren...

    ReplyDelete
  18. Terima kasih mbak RU, hehee
    Terima juga buat teman-teman lain yang sudah membaca review sederhana ini :D

    ReplyDelete

Like us on Facebook