Menjadi Djo: Kisah Anak Tionghoa Merajut Mimpi
Saturday, November 15, 2014
Judul :
Menjadi Djo
Penulis : Dyah Rinni
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Mei 2014
Tebal : 296 halaman
ISBN :
9786020304472
Novel
‘Menjadi Djo’ adalah novel Dyah Rinni yang pertama saya baca. Menurut deskripsi
di kover buku, novel ini ditulis berdasarkan inspirasi kisah nyata seorang
direktur perusahaan pengiriman terbesar di Indonesia. Saat membaca sedikit
deskripsi tersebut, saya membayangkan akan membaca semacam semi-biografi
seorang tokoh. Namun ternyata saya
salah. Ini bukan semacam tulisan seperti itu, ini adalah novel yang ditulis
berdasarkan sepotong kisah hidup masa lalu seorang tokoh. Bagi penulis, tentu menyenangkan menjadikan
potongan-potongan kisah hidup seseorang ke dalam tulisan fiksi. Ia sudah punya
bahan dasar yang kemudian akan diolah menjadi sesuatu yang baru. Menulis fiksi,
meski berdasarkan kisah hidup seseorang, tetaplah disebut fiksi, bukan biografi.
Di dalamnya terdapat unsur-unsur yang menyertai sebuah fiksi yang baik.
Terkadang, justru dengan cara seperti ini, penulis akan lebih leluasa
berekspresi dan berimprovisasi, karena ‘bahan baku’nya sudah ada.
Novel
ini menitikberatkan pada cerita kehidupan etnis Tionghoa pada tahun 1960-an,
dengan tokoh sentral bernama A Guan. Alur ceritanya sendiri dibagi ke dalam
tiga masa. Bagian satu terjadi pada awal tahun 1960-an, saat A Guan masih menjadi
siswa di sebuah Sekolah Dasar di Medan.
Bagian kedua adalah cerita enam tahun
kemudian, saat keluarga A Guan pindah ke Jakarta karena kota Medan yang dirasa
sudah tidak aman lagi untuk etnis Tionghoa seperti mereka. Seperti yang kita
ketahui, pada masa-masa itu adalah masa-masa genting bagi etnis Tionghoa
selepas peristiwa G30S-PKI. A Guan pun berganti nama menjadi ‘Djo’. Dan bagian
ketiga, cerita berpindah ke tahun 1972, di mana keluarga Djo sudah menjadi warga
Negara RI seutuhnya. Di bagian ini, Djo bukan lagi seorang anak manja, ia sudah
bertransformasi menjadi seorang laki-laki dewasa dengan persoalan dunia orang
dewasa yang lebih rumit. Cerita bagian ini pun menjadi lebih dari sekadar
‘kisah pertemanan’ sebagaimana di dua
bagian sebelumnya.
***
Jadi,
jika buku ini disebut sebagi fiksi, tapi saya seperti membaca runut kisah hidup
seseorang. Mungkin saja karena ini pengaruh pembagian cerita menurut
tahun-tahun tertentu. Kisah para tokoh pendukung di tiap bagian juga berlalu
begitu saja. Hanya tokoh Yanto, teman kecil A Guan, mendapat porsi penceritaan
yang lebih banyak.
Kisah
persahabatan A Guan dan Yanto mengingatkan saya akan kisah persahabatan Hassan
dan Amir dalam The Kite Runner; persahabatan antara anak majikan dengan
anak pembantu, antara satu etnis dengan etnis lainnya, antara si miskin dengan
si kaya, antara yang berpendidikan dengan yang tak berpendidikan. Kisah mereka
juga terjadi pada masa-masa pergolakan politik di Indonesia, dan mereka juga
diceritakan akhirnya berpisah karena kondisi tersebut. Bahkan kavernya nyaris sama! Dua anak yang mengejar layang-layang. Meski demikian, dibanding
dua bagian lainnya, hanya kisah A Guan dan Yanto di bagian satu yang benar-benar
terasa hidup. Di bagian ini, terlihat betul bagaimana hasil riset penulis atas
apa yang terjadi pada masa-masa itu. Bagaimana nasib etnis Tionghoa dan
peristiwa selepas G30S-PKI. Pembaca akan diajak merasakan bagaimana mencekamnya
saat keluarga A Guan melihat berbagai teror di sekeliling mereka.
Saya
kehilangan Yanto di bagian dua dan tiga sambil terus berharap mungkin saja
Yanto akan muncul kembali di bagian akhir –mengingat di awal cerita tokoh Yanto
mendapat porsi penceritaan yang nyarsi sama banyak dengan tokoh utama– namun ternyata tidak ada sama sekali. Yanto hanyalah kenangan masa kecil yang
tertinggal di diri A Guan atau Djo.
Bergerak
maju ke begian-bagian berikutnya, cerita tidak lagi berhubungan dengan kehidupan
masa kecil Djo atau A Guan. Namun satu benang merah –sekaligus menjadi inti cerita buku ini – yang
menghubungan bagian-bagian cerita ini adalah tentang bagaimana Djo dan
keluarganya sebagai etnis minoritas di negeri ini, yang sempat mendapat
perlakuan diskriminasi, berjuang agar layak disebut sebagai warga Negara Indonesia.
Ya, bagaimanapun mereka lahir dan besar di sini. Sebagaimana ungkap Djo;
“Aku
tidak pernah mengenal China. Bagiku, negara itu terlalu jauh dan tidak pernah
menyumbangkan apa pun kecuali dongeng masa lampau keluargaku.”
Sebagai
novel based on true story, novel ini sangat sesuai dengan kondisi
kekinian, saat di mana rasa toleransi kita terhadap perbedaan etnis yang kian
hari kian meruncing saja. Semoga apa yang pernah dialami Djo di masa lalu,
tidak terjadi pada ‘Djo-Djo’ beretnis Tionghoa lainnya di Indonesia. Cukuplah
kisah Djo menjadi pelajaran buat kita semua, bahwa menghargai perbedaan itu indah.
***
11 comments
mupeng baca buku ini.. resensinya bikin tambah penasaran..
ReplyDeleteSeruuuu mbak baca buku ini :D
ReplyDeleteBenar ya kak... nulis cerita dari kisah nyata biasanya konflik dan jalan ceritanya jelas...tinggal memilih diksi yang menari.. Yukk kak Nulis cerita tentang kita... Hihihihi
ReplyDeleteayoklah fus, tulis kisah kita sendiri, wkwkwwk
ReplyDeletesaya baru nyadar mirip kite runner setelah baca review mbak eky...reviewnya keren mbak :D
ReplyDeleteResensinya jelas banget.
ReplyDeleteAku suka ketika kak Ekky mengutip tentang negeri China yang begitu jauh dan hanyalah dongeng di masa lampau....
Jadi itu inti ceritanya..tentang kisah hidup seorang minoritas di negeri yang kita cintai ini. Hm aku udah lama pengen baca buku ini, tapi blm beruntung pas ikutan kuis haha..
Eh aku jug terkenang kenang dengan Kisah Hassan dan Amir yang berujung pedih itu..
Mengingatkanku bahwa harga sebuah persahabatan itu teramat mahal..hiks mewek lgi inget kisah ini.
Mudah mudahan beruntung bisa membaca buku ini, karena membaca resensinya selalu memberikan efek tunggal yang berulang...penasaraaaaaaan.. Haha .
terima kasih atas kunjungannya mbak lyta dan mb Yunita
ReplyDeleteBuku ini memang mengingatkanku akan pershabatan Hassan dan Ami mbak, karena faktor-faktor yang saya sebut di atas :D
Aku udah punya bukunya (dikasih temen :D) tapi agak males baca novel biografi, kebayang lambatnya penceritaan (pengalaman baca bbrp novel biografi). Semoga bisa segera menyusul mba Eky mereview novel ini :D
ReplyDeleteLumayan menyenangkan membaca buku ini mbak, agak jauh dari kesan buku biografi. Pada dasarnya saya juga kurang suka membaca buku-buku biografi. Lebih senanng baca novel sih, xixixiiii....
ReplyDeletepunya buku ini tapi belum kubaca haha. lumayan juga ya berarti. ehya mbak, kulist di blogroll ya blog mbak di blogku ^^ makasih udah berkunjung
ReplyDeleteSilakan mbak Evyta, dengan senang hati.
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung mbak :F